Dibesarkan di SURGA, membuatnya nampak seperti orang yang tak pernah olahraga, kerempeng. Pada akhirnya, diberinama lah Rahmat sebagai bentuk terima kasih orang tuanya karena suda dihadirkan di SURGA.
surga itu adalah Sumur Yuga, salah satu nama jalan yang ada di Kelurahan Balaroa, tempat ia tinggal. Sebab itulah, untuk melengkapi namanya yang hanya satu kata itu, disempurnakanlah menjadi dua kata, Rahmat Balaroa yang dalam pemaknaanya, Rahmat, manusia surga yang kedepannya menjadi penggerak yang dalam bahasa Agama “Mujaddid”, pembaharu, harapannya begitu.
Si paling cepat menerka aroma, enggan untuk berkacamata, dan sebenarnya kacamata yang enggan padanya, karena susah untuk tegak, ya, hidungnya pesek. Tak mau menggantung cita-cita setinggi-tingginya, takut tak bisa diambil lagi, karena tinggi badannya tidak lebih dari satu meter lima puluh senti.
Kalau soal fisik, tak mau berbisik-bisik, yang jelas-jelas saja, apa adanya sebab seseorang kadang menikmati dan menerima apa yang ada. hidup dalam keterbatasan, bukan hanya fisik, mungkin juga mental, Rahmat mencoba keluar dari zona itu dan mengikrarkan diri sebagai orang yang bebas, menentang faktualitas dan ingin terbang bersama kreativitas untuk menanggalkan batas-batas pengelihatan orang terhadapnya.
Baca Juga : Sepatu Butut
Lahir dalam dekapan Fajar Kota Palu, Sulawesi Tengah, dipeluk sunyi depan Rumah Sakit Siti Masyita, Rumah Sakit Ibu dan Anak. Lahirnya bukan di Rumah Sakit, tapi, di dalam kendaraan mobil ketika hendak masuk ke kasur persalinan.
Itulah sebabnya, ada nama kecil yang cukup terkenal dinobatkan padanya, Otong. Tidak sebagaimana Otong yang kita manknai, di situasi itu, Otong dimaknai sebagai orang yang kelak akan mengembara, menjelajahi bumi, begitu kata ibunya, sangat filosofis.
Terbukti, sampai saat ini, pulau di Indonesia yang belum sempat dikunjungi adalah pulau bagian Timur, Papua dan sekitarnya. Keliling mencicipi tanah Indonesia, bukan karena banyak uang, tapi karena memanfaatkan peluang. Sekarang sedang bermukim di Solo, Jawa Tengah sekaligus menempuh pendidikan tinggi di Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Baca Juga : Kelor : Antara Mitos dan Fakta
Sebenarnya, Rahmat Balaroa itu saya sendiri. Ya, saya adalah pahlawan untuk diri saya, bukan untuk orang lain apalagi ayang. Selama ini sepertinya sangat jarang saya memuji diri sendiri, memuji diri yang sudah mau berjuang, bergerak bebas, melawan faktualitas yang nyatanya agak sedikit menyakitkan bagi diri sendiri.
Tak banyak bukti serta alasan sebagai dalih kalau saya adalah seorang pahlawan, karena inti dari apa yang sudah saya capai hari ini adalah kebebasan berekspresi. Pahlawan yang sudah memerdekakan diri dari jajahan fakta-fakta hidup, yang pada akhirnya saya memilih untuk berdamai dengan fakta itu, jika tidak, bukan kawan yang ada, melainkan lawan.
Lebih dari kata layak, patut dan sudah seharusnya saya menobatkan Rahmat Balaroa sebagai pahlawan kemerdekaan untuk dirinya sendiri. Meski begini-begini saja, tapi sudah begitu-begitu juga. Sudah kemudian menulis di Blog gratisan, di Website yang punya bingkisan, dan buku yang digarap habis-habisan.
Itu tidak lain adalah cara untuk ikut terbang bersama kreativitas yang kedepannya bisa menjadi motivasi untuk mengatasi masalah jajahan fakta yang lain-lain. Saat ini, yang menemani saya dalam menerjemahkan isi dalam tulisan adalah “Ocobot”.
Ocobot itu Notebook tua yang dipaksa muda oleh windows 10, hingga jalannya sedikit pincang, karena memang adagium “Sesuatu yang dipaksakan dan berlebih-lebihan akan tidak baik,” itu selaras dengan kondisi ocobot yang cenderung dipaksakan dan dilebih-lebihkan untuk terlihat muda.
Bukan ingin menggantikan perannya, hanya saja, perlu kiranya pendamping hidup ketika sewaktu-waktu ocobot tak lagi mampu diajak kolaborasi. Untuk diri sendiri, semoga secepatnya menemukan pendamping hidup ocobot sebagai “Kado” untuk Rahmat Balaroa, Pahlawan yang melawan faktualitas dengan segala kreativitas.
*Tulisan yang memuji-muji diri sendiri
Comments
Post a Comment