
Suara detik jam dinding terus berdenting, sementara aku masih saja berhalusinasi ditemani selembar kertas dan sebuah pena. Lagi-lagi aku harus berkisah tentang dirimu, tentang senyum mu, sesekali ku ulang snap whattsapp mu, yang beberapa menit lalu sudah kulihat, itulah pekerjaanku. Setelah semua tugas terselesaikan pasti menyempatkan diri untukmu, hmmm,, untuk snap whatssappmu maksudnya.. :( . Aku kadang merasa bahwa kau tahu kalau snap whatssappmu terus kupandangi. Tapi seketika rasa senang itu menghilang sebab kulihat ada yang lain yang memenuhi snapnya. “itu mungkin saudaranya”, kataku dalam hati meski hati tak mau berkata. Waktu sudah menunjukan pukul 00 : 30, aku masih saja bertahan dengan bayang-bayang, iya hanya bersama bayang. Sementara besok harus bangun lebih awal untuk makan sahur. Entah kenapa tiba-tiba nalarku gelisah, ingin berkata-kata. Ya mau tidak mau aku harus meredam kegelisahan itu, hingga tercipta sebuah rangkaian kata, yang kujadikan sebait puisi, kira-kira bunyinya seperti ini;
Jiwa menggerutu...
Hati tak mau ikut. Pikiran membujuk, jiwa mengkritik..
Lantas apa yang terjadi setelah semuanya tak senada?
Ingat masih ada mimpi yang mungkin menyatukan semuanya,
menjadi satu kesatuan yang kokoh...
Udah malam tidur dan bermimpilah...
Baca juga : Payung harapan #1
Puisi singkat ini sudah menjadi peredam kegelisahan, sudah malam, tidur dan bermimpilah. Malam ini bukanlah akhir untuk bercerita karena besok masih ada kisah yang harus ku garap bersamamu. Eitssss maksudnya bersama bayangmu...
Waktunya untuk tidur, merebahkan badan yang lelah, lelah hati dan lelah pikir. Sebab siang hari aku bertarung dengan pikiran dan malam hari aku bertarung dengan rindu yang sepihak. Sakit bukan :(. .......
*******
Aku terbangun, sejenak menyadarkan diri, kukira masih berselimutkan malam, ternyata sang fajar mulai membuka tabir pagi, yang menandakan pertarurang akan kembali dimulai. Kubasuh muka yang semalam berteman dengan khayal, lalu beranjak ke meja makan. Pagi ini aku merasa mentari akan menemani perjuanganku, sebab tak ada langit gelap. Mentari makin menampakan wujudnya, para pedagang mulai turun membawa dagangannya ke pasar. Sementara aku hanya bisa duduk di depan rumah, melihat remaja-remaja sebaya denganku bergandengan menggunakan sepeda motornya, apala dayaku yang hanya bisa menghayal hingga terciptanya senyum yang tak jelas.
Comments
Post a Comment