![]() |
muhammadiyah.or.id |
Jauh sebelum gerakan persamaan hak digaungkan di Barat pada kisaran tahun 1914-1918, Muhammadiyah sudah lebih dulu mengawali itu dengan tetap berpegang pada nilai-nilai yang tegas bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, pada Tahun 1913 dengan didirikannya perkumpulan Sapa Tresna yang lambat laun menjadi ‘Aisyiyah.
Tidak begitu banyak literatur yang menuliskan terkait bagaimana pandangan serta konsep Kiyai Dahlan dalam memajukan kaum perempuan.
Namun, ada satu hal yang dengan satu hal itu, tergambar jelas, sebegitu perhatiannya Kiyai Dahlan terhadap kaum perempuan terkhusus dalam soal kemajuan, yaitu hadirnya Aisyiyah.
"Muhammadiyah Bahagian Isteri", adalah sebutan familiar pada waktu itu untuk menyebut gerakan perempuan Muhammadiyah tersebut (Aisyiyah).
Tentu dalam proses internalisasi gagasan perempuan berkemajuan dalam kehidupan masyarakat pada waktu itu sangat lah sulit.
Salah satu dari sekian banyak kesulitan itu adalah tuduhan bahwa kiyai Dahlan hendak melakukan penjerumusan kaum perempuan ke dalam jurang kesesatan. (Baca Covering Aisyiyah Hal.25).
Kiyai Dahlan memang sosok Ulama Intelek yang memiliki banyak strategi dan pola dakwah, termasuk dalam mengawali gerakan perubahan ini dengan pendekatan kekeluargaan yang sangat-sangat egaliter dan kekerabatan.
Seperti halnya Nabi Muhammad yang merupakan suri tauladan umat manusia, Ulama yang bernama kecil Darwis itu memulai gerakannya dari sanak keluarga terlebih dahulu.
Tentu dalam hal ini, orang yang pertama kali mendukung gerakannya adalah sang Isteri, Nyai Siti Walidah, sekaligus mendampingi dalam menggerakkan kaum perempuan pada waktu itu untuk masuk ke sekolah umum.
Tidak hanya sampai di situ, Kiyai Dahlan dalam mempersiapkan kader-kader persyarikatan, juga mengadakan sekolah agama di depan rumah yang kerap kali disebut Madrasah Diniyah.
Kiyai Dahlan pernah menegaskan bahwa urusan dapur tidak kemudian dijadikan halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat.
Baca Juga : Melampaui Batas-batas Kekuasaan
Kalaulah boleh kita bandingkan antara gerakan perempuan berkemajuan Kiyai Dahlan dengan gerakan feminisme yang berkembang di barat, gagasan kiyai dahlan sangat jauh lebih progresif dan Visioner.
Perkaderan Kultural
Dalam formalnya struktural organisasi, sangat penting untuk kemudian dilakukan perkaderan kultural. Kiyai Dahlan, dalam mengembangkan narasi perempuan berkemajuan pun demikian.
Terlihat pada acara openbarvergadering yang diadakan oleh Sarekat Islam Cabang kediri pada tahun 1921. Pada waktu itu kiyai Dahlan bersama Haji Fachrodin diundang untuk hadir.
Nah, di sinilah bentuk perkaderan kultural itu, selain Haji Fachrodin, turut diajak dan ikut serta seorang aktivis perempuan Aisyiah, yaitu Siti Munjiyah.
Pada waktu itu, yang dalam pandangan masyarakat awam, seorang perempuan masih dianggap tertinggal dan tidak berpendidikan, serta tak layak untuk mengisi ruang publik.
Siti Munjiyah, dengan keberaniannya, diberi panggung untuk menyampaikan pidatonya tentang Agama Islam di hadapan para peserta vergadering yang notabenenya laki-laki.
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar mu !
Comments
Post a Comment